Semakin berkembangnya trend “pacaran” adalah merupakan kecenderungan yang ada saat ini. Sudah bukan hal yang asing lagi, namun sudah menjadi hal yang familiar. Dikatakan benar jika tayangan televisi dan media komunikasi lainnya mempunyai peran yang cukup penting dalam menyebarkan trend buruk ini. Seolah-olah sudah menjadi hal biasa yang tidak perlu dipertimbangkan lagi dari segi dampak positif maupun negatifnya. Tanpa menyadari bobot dosa yang akan ditanggungnya karena kelalaiannya dalam menjalankan hal-hal sesuai dengan syariat. Dan yang cukup mengkhawatirkan, anak kecil di bawah umur pun sudah mulai mengenal hal tersebut. Sudah seperti jamur atau virus saja, mudah menyebar kepada siapa saja hanya dengan melihat pada orang yang melakukan “pacaran” lalu muncul keinginan untuk mencoba menjalin hubungan yang dilarang di dalam Islam tersebut. Seperti penyakit yang menular saja.
Lalu bagaimana wujud perhatian dan pendidikan orang tua pada anaknya terkait dengan hal ini?! Padahal sudah seharusnya orang tua mempunyai pemahaman yang lebih terhadap semua hal yang seharusnya ditanamkan kepada anaknya, khususnya pemahaman tentang ajaran agama. Karena di dalam Islam, anak lah yang bisa membawa orang tuanya kepada surga atau pun neraka tergantung pada tarbiyah yang diberikan orang tuanya. Hal ini juga terkait dengan kedudukan anak sebagai amanah yang diberikan olehNya kepada setiap orang tua. Namun lain kasus jika ternyata anak lah yang tidak menuruti perkataan orang tuanya meskipun ajaran yang diberikan adalah hal yang baik. Mungkin ada unsur tidak berbakti yang ada.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6)
PACARAN ataupun PACARAN ISLAMI ?NO WAY
!
PACARAN ataupun PACARAN ISLAMI ?
Lagi-lagi masih ada banyak yang
menanyakan, “boleh ga sih pacaran kalo menurut Islam?”, “ada ga sih cara
pacaran yang Islami?”. Sungguh fenomena yang unik dan tak terelakkan, tidak
lain hanya karena kurangnya pengetahuan mengenai ajaranNya atau karena memang
sengaja melanggar laranganNya semata demi kesenangan sementara di dunia.
Sebagai umat muslim yang memahami ajaran Islam dan mau melaksanakannya, sudah pasti jika ditanya tentang masalah pacaran pasti akan bilang ” Ga ada istilah pacaran di dalam Islam”, Ga ada istilah ‘komitmen’ di luar pernikahan”, “Ga ada pacaran yang islami. Kalaupun ada ya itu cuma buat pasangan yang pacaran setelah pernikahan ^-^. Ga ada istilah pacaran sebelum pernikahan”, dan lain sebagainya.
Sebagai umat muslim yang memahami ajaran Islam dan mau melaksanakannya, sudah pasti jika ditanya tentang masalah pacaran pasti akan bilang ” Ga ada istilah pacaran di dalam Islam”, Ga ada istilah ‘komitmen’ di luar pernikahan”, “Ga ada pacaran yang islami. Kalaupun ada ya itu cuma buat pasangan yang pacaran setelah pernikahan ^-^. Ga ada istilah pacaran sebelum pernikahan”, dan lain sebagainya.
Jadi, kalau mau pacaran yang halal
ya kalo udah nikah aja ya….
Memang sulit rasanya untuk
me-manage hati, mata, pendengaran, tangan, dan anggota tubuh lainnya supaya
manusia yang telah dikaruniai rasa kasih sayang terhadap sesama itu bisa
membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
sehingga manusia tersebut terhindarkan dari kesalahan dalam pencarian “jejak
CINTA yang hakiki”.
Tidak ada yang bisa mengelak saat
hati sudah mulai tumbuh rasa simpati dan suka terhadap lawan jenis. Sudah
merupakan fitrah manusia untuk menyukai terhadap lawan jenisnya. Namun fitrah
tersebut sudah seharusnya tidak dilanjutkan dengan hal-hal yang membawa kita
kepada dosa. Mulai dari memandang, maka akan muncul rasa, selanjutnya akan
mengarah kepada keinginan untuk lebih mengenalnya, setelah mengenalnya maka
ingin sesuatu yang hal yang lebih dari sekedar itu.”Laa taqrobuzzina, janganlah
kalian mendekati zina!”. Perasaan simpati jikalau terus dipupuk maka akan
menjadi subur, akan menumbuhkan perasaan yang lebih jauh lagi. Hingga akhirnya
seolah-olah segalanya menjadi indah, baik yang ada di depan mata ataupun yang
tidak. Dan zinanya hati adalah jika membiarkan rasa cinta pada yang bukan
muhrim di luar bingkai pernikahan itu terus berkembang, sehingga menjadi
benih-benih zina yang lainnya seperti halnya zina mata karena tidak mampu
menahan pandangan kepada nonmuhrim yang menjadi pusat simpatinya.
Berikut ini terdapat beberapa hukum yang ada dalam Al Qur’an maupun hadist yang menjadi dasar hukum jika antum-antunna yang ingin mengetahui kejelasan dan kepastian:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al Isra: 32).
Berikut ini terdapat beberapa hukum yang ada dalam Al Qur’an maupun hadist yang menjadi dasar hukum jika antum-antunna yang ingin mengetahui kejelasan dan kepastian:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al Isra: 32).
“Zina itu banyak cabangnya, yaitu
zina hati, mata, dan telinga, dan alat kelaminlah yang akan membuktikan apakah
berzina atau tidak” (H.R Bukhari).
“Apabila seseorang memalingkan
pandangannya pada wanita (lawan jenis;pen) yang bukan muhrimnya karena takut
kepada Allah, maka Allah akan membuat dia merasakan manisnya iman” (H.R
Bukhari).
Dalam An-Nur/24:30-31 ada
larangan untuk mengumbar pandangan, dan hadits lewat Imam Ali : “Hai Ali, hanya
dijadikan halal bagimu pandangan yang pertama”(Bukhari).
“Lebih baik seseorang menggenggam bara api atau ditombak dari duburnya hingga menembus kepala daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.”
“Lebih baik seseorang menggenggam bara api atau ditombak dari duburnya hingga menembus kepala daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.”
“Hai isteri-isteri Nabi, tiadalah
kamu seperti salah seorang dari perempuan-perempuan itu jika kamu bertakwa,
maka janganlah kamu terlalu lembut dalam berbicara sehingga tertariklah orang
yang di hatinya ada penyakit (keinginan), dan ucapkanlah perkataan yang baik”
(Q.S. Al-Ahzab:32).
“Jangan sekali-kali seorang
lak-laki menyendiri (khalwat) dengan wanita kecuali ada mahramnya. Dan
janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.” (HR Bukhori,
Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Tabrani, Baihaqi dan lain-lain).
“Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang
perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.”
(H.R. Ahmad)
Jadi, sudah jelas bahwa jawaban
untuk pertanyaan “Boleh tidak sih pacaran?” atau “Ada ga sih pacaran yang
Islami”, maka jawabannya adalah “TIDAK jikalau pacaran dilakukan sebelum
terjadinya pernikahan”. Maka setelah antum-antunna mengetahui dasar-dasar hukum
ini, maka sudah seharusnya ini berarti bahwa antum-antunna sudah bisa dikatakan
sebagai orang yang telah mengetahui syari’at tentang hukum pacaran dalam
kacamata Islam yang sesungguhnya.
MENCEGAH ITU LEBIH BAIK DARIPADA MENGOBATI SUATU KEBIASAAN
Lalu mungkin masih banyak yang ngeyel “Lha kan pacarannya ga keterlaluan. Cuma curhat-curhat saja, hanya ngobrol lewat SMS saja, kan tidak saling bersentuhan…dan masih banyak alasan pembelaan lainnya…”
Lalu mungkin masih banyak yang ngeyel “Lha kan pacarannya ga keterlaluan. Cuma curhat-curhat saja, hanya ngobrol lewat SMS saja, kan tidak saling bersentuhan…dan masih banyak alasan pembelaan lainnya…”
Sebenarnya terserah
antum-natunna. Jika masih mau berpegang pada ajaran agama Sang Pemilik Cinta
yang Hakiki Allah SWT, maka jauhilah meski itu memang sulit. Di dalam Islam,
tidak ada istilah garis Islam keras ataupun lunak. Semua hukum Islam yang
berlaku jika berasal dari Al Quran dan hadist sudah merupakan peraturan yang
berlaku untuk semuanya, tidak ada posisi tawar-menawar lagi. Jikalau memang ini
aturan di dalam Islam, maka tidak ada alasan lagi untuk melanggarnya, karena
antum tidak akan lepas lagi dari catatan amal/ dosa malaikat Raqib-Atid.
Berbeda dengan KUHP yang kalaupun melanggarnya masih mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan keringanan hukuman. Adalah salah jika antum-antunna menganggap
bahwa pendapat ini hanya dikeluarkan oleh Islam garis keras. Islam peduli pada
perkembangan zaman, namun tidak mentolerir segala bentuk trend yang menyimpang.
Sebenarnya semuanya kembali pada
pribadi masing-masing. Mau taat pada agamaNya atau tidak. Lebih baik mencegah
dari pada mengikuti trend yang salah dengan dalih “meskipun saya pacaran /
komitmen tapi saya tau batasan-batasannya kok”. Manusia tidak selalu berjalan
lurus, dan kita sebagai makhluk biasa tidak akan pernah mengetahui apa yang
akan terjadi selanjutnya. Mungkin saja perkataan dan prinsip tidak selalu bisa
kita tepati.
Mencegah itu lebih mudah. Jika
kita bisa selalu berusaha untuk patuh dengan aturan di dunia, kenapa kita juga
tidak selalu berusaha untuk mematuhi peraturan agama?! Jika kita selalu
berusaha untuk masuk kuliah meskipun kita sedang malas atau sakit sekalipun,
kenapa kita tidak bisa berusaha untuk menahan rasa supaya tidak “pacaran” yang
jelas-jelas diharamkan di dalam ajaran agama?!
KOMITMEN ? NO
WAY !
Hari gini, masih pakai cover
“KOMITMEN” ?!
Dengan tidak pacaran, bukan pula
berarti bahwa kita boleh ber-komitmen sebagai wujud pendekatan ke arah
pernikahan. Bagaimanapun, di dalam komitmen pasti ada tindakan yang sulit untuk
dicegah seperti munculnya perasaan simpati, bertemu pandang, menghayalkan
wajahnya, saling meminjam/ menukar barang milik pribadi dan hal-hal lain yang
tidak jauh dari salah satu dampak dari pacaran. Menurut saya, KOMITMEN =
PACARAN. Perbedaannya hanya terletak pada pengakuan status masing-masing
individu saja. Dan bisa saja sebuah komitmen berakhir di tengah jalan seperti
halnya putus hubungan di dalam pacaran.
YANG BENAR !
Hubungan di dalam Islam untuk
proses ke arah pernikahan yang benar dan yang dibolehkan dalam syari’at islam
hanyalah yang melalui tahap-tahap: (1) Ta’aruf (perkenalan), (2) Khitbah
(melamar) dan (3) Menikah. Jika muncul pertanyaan “lalu bagaimana cara untuk
mengenal calon suami/istri jika tanpa melalui pacaran”, maka jawabnya adalah
dengan ta’aruf. Dimana kedua pihak saling bertemu dan berkenalan dengan
didampingi oleh orang tua atau pihak ketiga lainnya, sehingga akhirnya satu
sama lain bisa saling mengenal.
Menghindari dosa adalah lebih
baik. Islam memberikan wujud pencegahan yang bersifat lebih indah dengan solusi
“pernikahan”.
“Jika seorang hamba menikah, maka
telah menjadi sempurnalah setengah agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah pada sebagian yang lainnya “. (HR. Al Hakim dan Ath Thabrani dari Anas
Bin Malik. Al Albani meng-hasan-kannya).
Pesan spesial untuk para akhwat/ ikhwan yang mengerti syari’at
Lalu untuk kita yang telah mengerti syari’at, bisa dibayangkan dampak terhadap kasus-kasus ini. Misalnya bagaimana pandangan orang terhadap seorang akhwat yang telah berani berjilbab lebar namun berani menghalalkan pacaran dengan dalih “pacaran Islami” ataupun berani menyatakan status “ber-komitmen” pada seorang ikhwan di luar status sudah menikah?! Dengan catatan bahwa kita memandangnya dari kacamata orang awam yang belum terlalu mengerti syari’at Islam. Orang mungkin tidak akan percaya lagi pada Islam. Jilbab akan dianggap hanya sebagai “cover”. Kesucian nama “jilbab” akan terkontaminasi. Iya, mungkin jika kita yang tahu syari’at pasti akan menganggap bahwa jilbab itu sebagai suatu kewajiban bagi setiap wanita muslimah, namun bagi pihak yang belum memahami betul hakikat jilbab maka sebagian dari mereka pasti akan beranggapan bahwa tidak selamanya perempuan berjilbab itu wanita baik dan tidak semua wanita tak berjilbab itu buruk. Dengan munculnya opini seperti ini, maka secara tidak langsung akan merusak tarbiyah kita selama ini, yakni tarbiyah terhadap para wanita muslim untuk menjalankan kewajiban dan perintah untuk berjilbab.
Maka, marilah kita selalu belajar dan berinstropeksi diri. Bagaimanakah yang seharusnya dan yang sebenarnya.
(Saya menulis artikel ini bukanlah karena merasa sebagai makhluk yang sempurna. Mungkin sama dengan rekan2 yang sedang belajar untuk me-manage hati, atau mungkin bahkan pengetahuannya lebih sedikit dari antum-antunna. Hanya demi niat ‘menyampaikan meskipun hanya satu ayat’. Semoga bermanfaat. Amin…)
Kemudian di bawah ini adalah kutipan dari blog yang pernah saya kunjungi, yang patut kita renungkan bersama:
Pesan spesial untuk para akhwat/ ikhwan yang mengerti syari’at
Lalu untuk kita yang telah mengerti syari’at, bisa dibayangkan dampak terhadap kasus-kasus ini. Misalnya bagaimana pandangan orang terhadap seorang akhwat yang telah berani berjilbab lebar namun berani menghalalkan pacaran dengan dalih “pacaran Islami” ataupun berani menyatakan status “ber-komitmen” pada seorang ikhwan di luar status sudah menikah?! Dengan catatan bahwa kita memandangnya dari kacamata orang awam yang belum terlalu mengerti syari’at Islam. Orang mungkin tidak akan percaya lagi pada Islam. Jilbab akan dianggap hanya sebagai “cover”. Kesucian nama “jilbab” akan terkontaminasi. Iya, mungkin jika kita yang tahu syari’at pasti akan menganggap bahwa jilbab itu sebagai suatu kewajiban bagi setiap wanita muslimah, namun bagi pihak yang belum memahami betul hakikat jilbab maka sebagian dari mereka pasti akan beranggapan bahwa tidak selamanya perempuan berjilbab itu wanita baik dan tidak semua wanita tak berjilbab itu buruk. Dengan munculnya opini seperti ini, maka secara tidak langsung akan merusak tarbiyah kita selama ini, yakni tarbiyah terhadap para wanita muslim untuk menjalankan kewajiban dan perintah untuk berjilbab.
Maka, marilah kita selalu belajar dan berinstropeksi diri. Bagaimanakah yang seharusnya dan yang sebenarnya.
(Saya menulis artikel ini bukanlah karena merasa sebagai makhluk yang sempurna. Mungkin sama dengan rekan2 yang sedang belajar untuk me-manage hati, atau mungkin bahkan pengetahuannya lebih sedikit dari antum-antunna. Hanya demi niat ‘menyampaikan meskipun hanya satu ayat’. Semoga bermanfaat. Amin…)
Kemudian di bawah ini adalah kutipan dari blog yang pernah saya kunjungi, yang patut kita renungkan bersama:




0 comments:
Post a Comment